Bombana,HarapanSultra,COM / – Di kaki Gunung Tawunaula, sebuah sungai bernama LaEa mengalir tenang, membelah kawasan yang kaya akan sejarah dan budaya, yakni Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW). Gunung ini bukan hanya menjadi simbol keagungan alam, tetapi juga menyimpan cerita legenda yang hidup dalam masyarakat setempat. Gunung Tawunaula diyakini sebagai tempat pertama kali Oheo, dewa langit, turun ke bumi dan menjadi raja suku Moronene, suku tertua yang mendiami jazirah Sulawesi Tenggara.
Kampung adat HukaEa LaEa, yang terletak di Dusun III, Desa Watuwatu, menyimpan tradisi dan nilai-nilai adat yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Dari balai adat yang terletak di pusat kampung, Gunung Tawunaula dapat terlihat dengan jelas, menjadi pengingat akan pentingnya menjaga warisan budaya yang telah tertanam dalam kehidupan masyarakat HukaEa LaEa.
Perjalanan menuju kampung ini tidaklah mudah. Akses jalan yang terisolir, melalui kawasan savana TNRAW sejauh 9 kilometer dengan jalan tanah yang lembek, menjadi tantangan tersendiri bagi siapa pun yang ingin mengunjungi kampung ini. Jarak dari kampung adat ke Desa Watuwatu mencapai sekitar 20 kilometer dari Rumbia, ibukota Kabupaten Bombana.
Warga HukaEa LaEa dikenal sebagai masyarakat yang masih memegang teguh ajaran nenek moyang mereka. Hal ini tercermin dari semangat gotong royong yang mereka tunjukkan dalam membangun balai adat kampung. Rumah adat dengan corak warna yang khas ini dibangun di tanah lapang di tengah kampung dengan dana seadanya, hasil swadaya masyarakat.
Balai adat ini menjadi pusat kehidupan sosial dan budaya masyarakat HukaEa LaEa. Di sini, mereka melangsungkan berbagai upacara adat, seperti pernikahan, penyelesaian perselisihan, hingga mengadili warga yang melanggar aturan adat. Balai ini juga menjadi tempat musyawarah untuk membahas kondisi keamanan kampung dan pasokan lumbung pangan.
Saat para lelaki bekerja mendirikan boru-boru, atau pondok kecil untuk menyimpan hasil bumi, kaum perempuan sibuk membuat panganan untuk mereka yang bekerja. Mereka juga menganyam tikar dari agel dan menikmati panen mete ketika suhu menghangat. Kehidupan mereka sederhana, namun kaya akan makna dan kebersamaan.
Keunikan kampung HukaEa LaEa tidak hanya terletak pada tradisi dan budaya, tetapi juga pada ekosistem alam yang mengelilinginya. Kampung ini berada di daerah hutan yang memiliki berbagai tipe ekosistem, seperti bakau, hutan pantai, savana, hutan hujan pegunungan rendah, dan rawa. Keanekaragaman ekosistem ini menjadikan kampung HukaEa LaEa sebagai habitat berbagai jenis kehidupan liar.
Sebagian besar warga HukaEa LaEa bekerja sebagai petani dan tidak mengenyam pendidikan formal. Mereka dianggap sebagai etnik tertua dan pertama yang mendiami dataran Sulawesi Tenggara. Penelitian antropologis menunjukkan bahwa nenek moyang mereka berasal dari daratan Filipina dan mulai bermukim di wilayah ini sekitar tahun 1720.
Secara administratif, perkampungan orang Moronene tersebar di tujuh wilayah kecamatan, yang dahulu merupakan bagian dari Kerajaan Moronene. Wilayah ini memiliki luas sekitar 3.393,67 km², namun kini sebagian besar orang Moronene bermukim di sebelah selatan Sulawesi Tenggara, dan kampung HukaEa LaEa adalah salah satu kampung tertua mereka.
Mansyur Lababa, Ketua Lembaga Adat Moronene HukaEa LaEa, menjelaskan bahwa nama HukaEa diambil dari dua kata, yakni Huka yang berarti melinjo dan Ea yang berarti besar. Nama ini merujuk pada banyaknya tanaman melinjo yang tumbuh di daerah tersebut. LaEa sendiri berarti Sungai Besar. Kampung ini juga dikenal dengan nama lain, Wukulanu, yang berarti biji atau tulang agel, karena banyaknya tumbuhan agel di daerah tersebut.
Kampung HukaEa LaEa memiliki cerita panjang dari masa ke masa, tidak hanya terkait tradisi adat istiadat yang kaya, tetapi juga perjuangan masyarakat dalam mempertahankan tanah leluhur mereka. Selama lebih dari dua dekade, warga HukaEa LaEa berjuang untuk mendapatkan pengakuan sebagai masyarakat adat. Perjuangan ini tidak mudah, harus ditebus dengan darah, keringat, dan air mata.
Ketimpangan struktur agraria telah menyebabkan konflik antara masyarakat adat dengan petugas taman nasional. Bagi orang Moronene, tanah di sekitar HukaEa LaEa adalah warisan leluhur yang harus dijaga, sementara pihak taman nasional menganggap mereka sebagai perambah kawasan. Konflik ini menjadi wujud nyata dari ketidakadilan yang dirasakan oleh penduduk asli.
Meskipun demikian, otonomi adat di HukaEa LaEa tetap dijalankan. Aturan hukum adat Moronene yang telah berlaku sejak turun-temurun tetap dihormati dan dipegang teguh oleh masyarakat. Pemerintah Desa Watuwatu tidak campur tangan dalam urusan kampung adat, karena segala aturan di HukaEa LaEa diatur berdasarkan hukum adat.
Dengan adanya pengakuan dari pemerintah melalui Peraturan Daerah No. 4 tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat Moronene HukaEa LaEa, warga kampung ini merasa lebih kuat. Pengakuan ini memberikan dasar bagi masyarakat untuk mengatur wilayah administrasi mereka sendiri sesuai dengan hukum adat yang berlaku.
Saat ini, terdapat 110 kepala keluarga atau sekitar 430 jiwa yang menghuni kawasan adat HukaEa LaEa. Kehidupan mereka yang sejalan dengan fungsi konservasi membuat mereka merasa nyaman tinggal di kawasan TNRAW. Bagi masyarakat adat HukaEa LaEa, menjaga kelestarian alam adalah bagian dari tradisi yang telah diwariskan turun-temurun.
Dalam aturan adat, perlakuan terhadap alam agar tetap lestari dipegang teguh oleh masyarakat. Totongano Lombo bertanggung jawab atas urusan kehutanan dan lingkungan, sedangkan Totongano Inalahi mengawasi kelestarian air dan pengelolaan hutan. Selain itu, terdapat juga berbagai peran adat lainnya yang memastikan kehidupan sosial dan budaya masyarakat tetap berjalan dengan harmonis.
Kampung HukaEa LaEa, dengan segala kekayaan budaya dan alamnya, adalah simbol perlawanan dan keteguhan masyarakat adat dalam mempertahankan identitas mereka di tengah modernisasi dan tekanan eksternal. Mereka terus menjaga warisan leluhur, menghidupi tradisi yang telah ada sejak berabad-abad lalu, dan berusaha untuk melestarikan alam serta budaya yang menjadi jantung kehidupan mereka.(ADV)