Bombana,HarapanSultra,COM / – Tari tradisional merupakan salah satu warisan budaya yang paling mendalam dan penuh makna dalam kehidupan masyarakat. Salah satu tarian yang sarat dengan nilai-nilai spiritual dan budaya adalah **Morengku**, tarian tradisional dari suku Moronene yang dipersembahkan pada saat pesta akhir musim panen padi, atau yang dikenal dengan sebutan “mowuwusoi.” Tarian ini tidak hanya merupakan bentuk ungkapan terima kasih kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah, tetapi juga menjadi sarana untuk memupuk semangat kebersamaan dan gotong royong dalam kehidupan masyarakat.
Dalam tradisi masyarakat adat Moronene, padi (mpae) diperlakukan sebagai tumbuhan sakral yang diyakini memiliki jiwa kehidupan, yang disebut “sangkoleo.” Keyakinan ini melahirkan berbagai ritual adat yang bertujuan untuk memuliakan Sangkoleo Mpae. Seiring dengan hadirnya agama Hindu, beberapa kalangan mengaitkan Sangkoleo Mpae dengan dewi padi yang terdapat dalam mitos Dewi Sri di Jawa atau Sangiang Serri dalam epos I Lagaligo. Namun, kepercayaan ini sesungguhnya memiliki akar yang lebih dalam, terlepas dari pengaruh Hindu, seperti yang terlihat dalam mitos “Ina Pare” di Nusa Tenggara Timur.
Nama “Morengku” sendiri berasal dari gerakan mempertemukan dua buah alu secara berirama, yang terlihat dalam gerakan tari ini. Proses kelahiran gerakan tari Morengku tidak terlepas dari tradisi menumbuk padi (mo’isa) yang dilakukan masyarakat Moronene. Dalam prosesi adat “mewuwusoi,” yang merupakan kegiatan pensucian diri sekaligus ungkapan syukur, orang-orang menumbuk padi seperti biasa. Namun, ada satu orang yang secara khusus menumbukkan alu ke bibir lesung (mododo’a), sehingga menghasilkan irama tertentu yang diyakini akan membuat Sangkoleo Mpae senang dan mengiringi perjalanannya kembali ke kahyangan.
Di sisi lain, kaum ibu melakukan gerakan melompat-lompat yang dikenal dengan sebutan “mololoso tincolo.” Gerakan ini terinspirasi dari tradisi masyarakat tua, di mana pada saat padi siap dipanen, mereka bersama “tumpuroo” (dukun padi) pergi ke pantai untuk melakukan ritual “mobitu roo,” yakni proses mengambil buih air laut dengan melompat-lompati ombak kecil. Buih air laut ini kemudian ditempatkan dalam “wontula” (wadah bambu) dan digunakan dalam ritual “mobelai pae” (memotong padi secara simbolik atau panen perdana.
Gerakan melompat-lompat dalam tarian Morengku tidak hanya merupakan bagian dari ritual, tetapi juga memiliki makna filosofis yang mendalam. Gerakan ini merupakan simbol kebahagiaan dan kegembiraan atas keberhasilan panen, serta representasi dari hubungan harmonis antara manusia dengan alam. Hal ini terlihat dari keterlibatan unsur-unsur alam, seperti buih air laut dan tetumbuhan, dalam ritual yang mengiringi tarian ini.
Yang menarik, gerakan melompat-lompati alu atau tongkat yang dibenturkan dalam tari Morengku juga ditemukan dalam beberapa budaya lain di Nusantara, seperti tari “Rangku Alu” di Flores. Menurut Jaap Kunst dalam bukunya “Music in Flores” (1942), tarian serupa juga terdapat di Kepulauan Kai, Buru, Saparua, dan suku Dayak di Kalimantan. Bahkan, dalam konteks yang lebih luas, tari melompati tongkat ini juga merupakan bagian dari seni budaya di berbagai wilayah di Asia, seperti Tiongkok Selatan, Myanmar, Taiwan, dan Filipina.
Tari Morengku biasanya dipersembahkan dalam acara pesta panen tahunan, penyambutan tamu, atau festival budaya. Komposisi penari terdiri dari 4, 6, atau 8 orang penari wanita dan pria, sedangkan pengiring musik terdiri dari 2 hingga 4 orang, tergantung jumlah alat musik yang digunakan. Alat musik yang biasa digunakan untuk mengiringi tarian Morengku antara lain ganda (gendang besar), tawa-tawa besar (gong besar), tawa-tawa kecil (gong kecil), dan kato-kato (kentongan).
Morengku tidak hanya sekadar tarian tradisional, tetapi juga merupakan warisan budaya yang mengandung nilai-nilai spiritual, sosial, dan filosofis yang tinggi. Tarian ini menjadi pengingat akan pentingnya menjaga harmoni antara manusia, alam, dan kekuatan spiritual yang diyakini mengatur kehidupan. Di tengah gempuran modernisasi, pelestarian tari Morengku menjadi upaya penting dalam menjaga identitas budaya dan memperkuat ikatan sosial dalam masyarakat Moronene.
Dalam kesempatan mendatang, kami akan membahas lebih dalam tentang tari “Lulo Alu,” tarian lain dari wilayah kepulauan yang juga memiliki gerakan melompat tongkat, memberikan gambaran lebih luas tentang kekayaan budaya Nusantara yang masih lestari hingga kini.