oleh

Tarian Lumense di Panggung Maestro IV 2024: Penghormatan kepada Sang Maestro yang Tak Pernah Lelah

Bombana,HarapanSultra, COM /  – Panggung Maestro, festival seni yang menghormati dan merayakan para maestro kesenian tradisional Nusantara, kembali menggelar pertunjukan yang spektakuler di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Bertajuk “Menjaga Maestro, Melangkah ke Depan,” acara ini berlangsung pada tanggal 9-10 Mei, menandai penyelenggaraan keempat sejak debutnya pada Juli 2023.

Nama Maestro sendiri adalah sebutan untuk orang yang menekuni dan menguasai suatu bidang secara terus-menerus dalam waktu yang lama.

Kata maestro diambil dari bahasa Italia yang berarti pemimpin, di Italia sendiri Maestro disematkan pada pemimpin suatu kelompok paduan suara atau pemusik instrumental pada zaman dahulu.

Maestro dalam bahasa Indonesia merupakan sinonim dari kata Empu, Ahli, Master, atau Pakar.
Maestro oleh Kemendikbud Ristek didenisikan sebagai individu yang secara tekun dan gigih mengabdikan diri pada jenis seni yang langka nyaris punah, serta mewariskan keahliannya kepada generasi muda. Berusia diatas 60 tahun dan telah berkiprah di bidangnya sekurang-kurangnya selama 35 tahun.

Para Maestro adalah ujung tombak pelestarian seni dan budaya Indonesia, dari mata seorang Maestro kita dapat melihat keluhuran hati dan kedalaman rasa cinta terhadap warisan nenek moyang yang tersimpan dan dirawat sepenuh hati.

Edisi kali ini dari Panggung Maestro sangat berarti bagi masyarakat Kepulauan Kabaena, Kabupaten Bombana. Dua warganya, Ibu Rosmina dan Ibu Wapia, dihormati sebagai maestro tari Lumense. Mereka, bersama delapan anggota Sanggar Me’asa Laro di bawah kepemimpinan Budi Hartaman, dipercaya untuk menampilkan Tarian Lumense yang memukau.

Ibu Rosmina, seorang maestro berusia 60 tahun dari Desa Wumbuburo, Kabaena Timur, telah mengabdikan hidupnya untuk mengkurasi dan mempertahankan Tarian Lumense. Pada tahun 70-an, beliau terpilih untuk merekam dan memelihara pakem tarian ini selama pelatihan intensif di Bau Bau, yang kemudian dipentaskan di Jakarta.

Ibu Wapia, seorang pensiunan guru berusia 63 tahun, telah menari Lumense sejak kecil. Tarian ini bukan hanya seni bagi beliau, tetapi juga bagian dari permainan dan hiburan masa kecilnya.

Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Bombana, Anisa Sri Prihatin, S.Sos., M.Si, menjelaskan bahwa Tarian Lumense asal Kabaena, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, merupakan identitas budaya suku Moronene, khususnya di Pulau Kabaena, dan telah memperoleh Hak Cipta dari Kemenkum HAM serta masuk dalam Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) UNESCO.

“Terpilihnya Ibu Wapia dan Ibu Rosmina sebagai maestro tari Lumense karena dianggap telah mendedikasikan hidupnya untuk menjaga dan merawat kesenian tarian tradisional Indonesia, khususnya Pulau Kabaena,” ungkap Anisa.

Wanita Alumnus STPDN angkatan 03 ini, juga memberikan apresiasi kepada seluruh tim yang dengan sukses membawakan Tari Lumense, yang merupakan tradisi masyarakat Tokotu’a atau Kabaena, Kabupaten Bombana.

“Terima kasih buat semua penari dan penabuh, dan para pendamping asal dari Pulau Kabaena. Jaya selalu Wonua Bombana, Wonderful Indonesia,” tutur Anisa.

Panggung Maestro IV tidak hanya menjadi ajang penghargaan bagi para maestro, tetapi juga menjadi simbol komitmen Indonesia dalam melestarikan dan memajukan warisan budaya. Dari mata seorang maestro, kita dapat melihat keluhuran hati dan kedalaman rasa cinta terhadap warisan nenek moyang yang telah dijaga dan dirawat sepenuh hati. Panggung ini menjadi bukti bahwa tradisi dan modernitas dapat berjalan beriringan, menjaga masa lalu sambil melangkah ke depan.

Dengan semangat yang tak kunjung padam, para maestro dan penggiat seni tradisional terus menunjukkan bahwa seni dan budaya Nusantara adalah napas kehidupan yang terus mengalir, menginspirasi, dan mempersatukan. Panggung Maestro IV telah menutup tirainya, namun pesan yang dibawa akan terus bergema: menjaga maestro adalah menjaga jati diri bangsa.

BACA JUGA BERITA MENARIK LAINNYA